AESI Ungkap PLTS di Indonesia Tumbuh Tak Sesuai Harapan
Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa
Iconomics - Meski digadang-gadang sebagai energi ramah lingkungan yang dapat mendukung ambisi Indonesia untuk mengurangi emisi karbon, tetapi pengembangan energi surya di Indonesia, menurut Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) “tak sesuai harapan”.
Kehendak politik (political will) serta kepemimpinan yang kuat dan aktif (strong and active leadership) dari pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan untuk mengembangkan energi surya dalam skala besar. Demikian juga kemauan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN untuk menjadi bagian dari ekosistem energi surya juga sangat diperlukan.
AESI kembali menggelar Indonesia Solar Summit (ISS) 2023. Acara yang digelar di Hotel Bidakara Jakarta, Rabu (26/7) ini merupakan bagian dari IndoSolar Expo 2023.
“Kita patut bersyukur bahwa di tengah kondisi saat ini, dimana PLTS tidak tumbuh sesuai harapan dari asosiasi, kita masih bisa menyelenggarakan Solar Summit 2023 yang merupakan bagian dari IndoSolar Expo,” ujar Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya pada pembukaan acara tersebut.
Fabby mengatakan tahun lalu, saat PLN mengeluarkan kebijakan membatasi pemasangan PLTS Atap 10-15% dari total kapasitas listrik terpasang, AESI mengidentifikasi 29 pengembang PLTS sedang merencanakan proyek energi surya dengan kapasitas 2,3 Gigawatt (GW). Proyek-proyek yang rencananya dibangun tahun 2022 dan 2023 ini terdiri atas 1 GW PLTS Atap yang tersambung pada jaringan PLN (On-grid) dan sisanya PLTS ground-mounted, utility scale dan captive power.
“Dari 1 GW [PLTS Atap] memang tidak tercapai. Karena adanya pembatasan [dari PLN]. Tetapi kabar baiknya adalah ada 541 megawatt (MW) yang sampai 2023 ini yang ada di pipeline dan…ada 134 MW yang sudah kontrak sampai dengan semester pertama[2023],” ujar Fabby.
“Ini buktinya nyata bahwa anggota AESI ikut serta aktif mendukung pengembangan energi terbarukan dan di tengah kondisi yang sulit sekalipun kami terus berjuang, berinovasi untuk menjaga asa bisnis PLTS untuk selalu berkibar,” tambahnya.
Mendorong Investasi PLTS
Di tengah berbagai tantangan, AESI terus mendorong investasi PLTS di Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah melalui kegiatan ISS ini. ISS, tambah Fabby, juga bertujuan untuk memicu revolusi energi surya di Indoensia serta menjadikan PLTS sebagai penggerak upaya transisi energi menuju sistem rendah karbon.
“Saat ini harus diakui kapasitas PLTS masih sangat rendah dan Indonesia termasuk yang tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Tetapi kalau kita melihat kondisi hari ini, kita seharusnya tidak pesimis,” ujarnya.
Fabby yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan tiga alasan mengapa harus tetap optimis dengan pengembangan energi surya di Indonesia.
Pertama, PLTS saat ini telah menjadi fenomena global dan merupakan pilihan utama bagi banyak negara dan bisnis untuk melakukan dekarbonisasi dan melakukan transisi energi.
Ia menyebut dalam lima tahun terakhir kapasitas PLTS secara global tumbuh pesat di luar perkiraan para analis dan perencana energi. International Energy Agancy (IEA) memperkirakan tahun ini dari 440 GW tambahan energi terbarukan secara global dan 550 GW tahun depan, sekitar 2/3 berasal dari PLTS. Laporan dari Rocky Mountain Institute (RMI) dan Bezos Fund menunjukkan bahwa PLTS secara global telah tumbuh 24% per tahun selama lima tahun terakhir dan dengan pertumbuhan saat ini akan mencapai lebih dari 1.000 GW kapasitas per tahun pada 2030.
Dengan data-data tersebut, menurut Fabby, teknologi energi surya akan menjadi arus utama di masa depan. Apalagi, kecepatan perkembangan teknologinya juga diikuti oleh penurunan harga.
“Minggu lalu, kontrak baru untuk PLTS di India utility scale 2 GW itu mencapai US$3,2 sen/kWh. Hari ini di Indonesia Cirata dan beberapa proyek PLTS utility scale lainnya yang sudah konstruksi itu kira-kira US$5,6 sen sampai US$5,8 sen/kWh. Ini menunjukkan bahwa cepat atau lambat kita harus mengadopsi teknoligi ini dengan cepat,”ujarnya.
Alasan kedua kenapa tetap optimis dengan pengembangan PLTS, menurut Fabby adalah karena PLTS merupakan pilihan teknologi yang paling rasional bagi Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi di tahun 2060 atau lebih awal.
Indonesia yang berada di wilayah tropis memiliki paparan matahari yang cukup besar. Data resmi Kementerian ESDM menyebut potensi energi surya di Indonesia mencapai 3.300 GW. Tak hanya memiliki potensi energi surya yang besar, teknologi untuk energi surya pun bersifat modular, mudah dan cepat dipasang dan harganya semakin murah dan terjangkau. Dalam 10 tahun terakhir, harga teknologi surya ini, menurut Fabby, telah turun 80-90%.
Studi-studi juga menunjukkan bahwa PLTS akan menjadi salah satu driver transisi energi di Indonesia. Misalnya, kajian IEA dan Kementerian ESDM yang diluncurkan tahun lalu mengindikasikan bahwa akan terdapat 65 GW PLTS di 2030 dan 340 GW PLTS di 2050. Kajian IRENA dan Kementerian ESDM yang juga diluncurkan tahun lalu – dengan menggunakan skenario target untuk menahan kenaikan rata-rata suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius – menunjukkan kapasitas PLTS akan menjadi 66 GW pada 2030 dan 840 GW di tahun 2050.
Alasan ketiga kenapa optimis dengan PLTS, menurut Fabby adalah karena adanya permintaan di pasar.
“Dalam dua tahun terkahir kita melihat bahwa telah muncul pasar baru bahwa pemanfaatan PLTS tidak saja untuk berjualan listrik tetapi untuk menghasilkan produk nilai tambah baru yaitu green hydrogen dan amonia. Dari data yang dikumpulkan oleh IESR bahwa sejak tahun lalu, terdapat paling tidak 10 proyek green hydrogen dan amonia yang akan menggunakan PLTS sebagai sumber listrik hijaunya, yang sedang dalam bentuk kajian dan mungkin direalissikan dalam 2-3 tahun mendatang,”beber Fabby.
Meski prospeknya bagus, tetapi nyatanya saat ini kapasitas PLST di Indonesia baru sekitar 300 MW. Karena itu, menurut Fabby, tantangannya adalah bagaimana potensi yang besar ini menjadi sesuatu yang nyata dalam bentuk kapasitas. Bagaimana Indonesia bisa meningkatkan kapasitas PLTS dengan membangun dalam kapasitas yang besar seperti 3-4 GW per tahun, bahkan 10-20 GW per tahun setelah tahun 2030 untuk mengejar tercapainya net zero emission?
Menurut Fabby, pengalaman di banyak negara, termasuk negara berkembang menunjukkan bahwa membangun PLTS dalam skala yang besar dan masif bukan hal yang mustahil. Belajar dari negara lain, menurut dia, ada tiga faktor penting.
Pertama, political will dan strong and active leadership dari pemerintah yang dituangkan dalam bentuk target, dukungan kebijakan, regulasi yang transparan, pasti dan berkesinambungan.
Kedua, pengebangan ekosistem yang teritegrasi. Ekosistem ini akan menjadi enabler pembangunan PLTS dengan kapasitas besar. Ekosistem ini juga mencakup jaminan ketersediaan sumber daya manusia dan ketersediaan EPC yang berkualitas dan terlatih. Ada insentif bagi PLTS dan industrinya. Makanisme pendanaan untuk manufaktur EPC dan konsumen, peningkatan kesadaran publik untuk memilih energi bersih, penguatan infrastruktur ketenagalistrikan termasuk transmisi.
“Dan dalam konteks Indonesia tentunya kita menambahkan faktor penting yaitu kemauan PLN untuk menjadi bagian dari eksosistem tersebut dan sebagai mitra yang setara,” ujarnya.
Faktor ketiga adalah pengembangan industri manufaktur PLTS yang terintegrasi dan kompetitif.