Potensi Energi Surya Besar tetapi Pengembangan Lambat
Pengembangan energi surya masih minim di Indonesia padahal berpotensi mendorong mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE) dari sektor energi. Studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) pun menyebutkan, energi surya jadi tulang punggung sistem energi nol emisi pada 2050.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bilang, adopsi energi surya di Indonesia masih lambat. Realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 baru 271,6 MW, jauh di bawah rencana 893,3 MW.
Ada beberapa faktor penghambat adopsi energi matahari secara luas, antara lain, soal tanah, pengalaman lokal kurang sampai tarif tak menarik.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, selama dua tahun terakhir, pasar baru muncul, tak hanya memanfaatkan energi surya untuk listrik juga produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia.
Pengembangan energi surya masih minim di Indonesia padahal berpotensi mendorong mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE) dari sektor energi. Studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) pun menyebutkan, energi surya jadi tulang punggung sistem energi nol emisi pada 2050.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, pengembangan energi surya jadi strategi penting mencapai 23% dari bauran energi terbarukan sampai 2025. Saat ini, katanya, capaian bauran energi terbarukan baru 12,5%,
Dia juga menekankan pentingnya memiliki akses ke teknologi dan pendanaan dalam menunjang pemanfatan energi surya. Investasi energi surya, katanya, akan mudah mengalir ke Indonesia kalau permintaan dalam negeri cukup signifikan.
“Terdapat dua isu penting yang jadi dukungan dalam percepatan energi surya yaitu ketersediaan teknologi yang harus didukung industri dan ketersediaan pendanaan internasional serta dalam negeri perlu dimobilisasi,” katanya dalam ajang Indonesia Solar Summit 2023, 26 Juli lalu.
Arifin bilang, adopsi energi surya di Indonesia masih lambat. Realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 baru 271,6 MW, jauh di bawah rencana 893,3 MW. Sedang potensi teknis energi surya, katanya, mencapai 3.295 GWp.
Dia mengatakan, ada beberapa faktor penghambat adopsi energi matahari secara luas, antara lain, soal tanah, pengalaman lokal kurang sampai tarif tak menarik.
Untuk itu, penting percepatan penggunaan energi surya guna mencapai target energi terbarukan dan NZE.
Menurut dia, Indonesia juga punya target turunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sekitar 290 juta ton pada 2030, sudah naik jadi 358 juta ton.
Untuk itu, beragam upaya pengurangan emisi antara lain melalui program dedieselisasi dan konversi kendaraan motor berbahan bakar fosil jadi motor listrik.
Studi BloombergNEF dan IESR menyebutkan, dalam jangka pendek, energi surya perlu sekitar 18 GW untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025, dengan nilai investasi US$14,1 miliar.
Juga lewat dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP)–dengan rencana investasi dan kebijakan komprehensif sedang disusun–, mencakup penghentian PLTU batubara, langkah-langkah transisi yang adil, dan percepatan pengembangan energi terbarukan.
Rachmat Kaimuddin, Deputi Koordinator Bidang Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Maritim dan Investasi mengatakan, untuk membangun energi surya, Indonesia perlu menyiapkan permintaan terlebih dahulu.
“Kita mengintervensi dalam negeri, misal, melalui JETP, bagaimana meminimalisir ketergantungan terhadap energi fosil, bisa dalam beberapa bentuk seperti mengurangi output pembangkit listrik berbasis batubara dan menciptakan permintaan baru,” katanya.
Dia juga katakan, kerja sama Indonesia dengan Singapura untuk listrik hijau mensyaratkan modul surya dan baterai harus produksi di Indonesia. Dengan begitu, permintaan yang muncul jadi pemicu terbentuknya industri PLTS di Indonesia.
“Kita tidak ingin ke depan hanya impor. Kita berharap industri dalam negeri sudah terbentuk selama dalam proses transisi energi.”
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, selama dua tahun terakhir, pasar baru muncul, tak hanya memanfaatkan energi surya untuk listrik juga produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia.
Dari data IESR, saat ini ada 10 proyek hidrogen hijau dan amonia yang dirintis sejak tahun lalu, dengan memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber listrik utama. “Proyek-proyek ini sedang tahap studi, diharapkan terealisasi dalam 2-3 tahun ke depan,” katanya.
Dia bilang, pengalaman dari berbagai negara, memperlihatkan, pembangkit listrik tenaga surya skala gigawatt dalam waktu satu tahun bisa dilakukan.
Data International Renewable Energy Agency (IRENA) 2021, di Vietnam kapasitas PLTS mencapai 16.504 MW, Malaysia 1.493 MW dan India 38.983 MW. Pada 2020, total kapasitas, energi surya Thailand 2.988 MW, Filipina 1.048 MW, Singapura 329 MW dan Kamboja 208 MW.
Fabby sebutkan, ada tiga faktor pendukung penting dalam mendorong pengembangan solar PV. Pertama, kemauan politik dan kepemimpinan kuat serta aktif dari pemerintah. Juga, penetapan kebijakan transparan dan berkelanjutan.
Kedua, perlu pengembangan ekosistem terpadu, meliputi penentuan standar kualitas dan jaminan modul surya, memastikan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas dan terlatih.
Ketiga, penting mendorong pertumbuhan industri manufaktur PV surya yang terintegrasi dan kompetitif.
Antha Williams, yang mengepalai Program Lingkungan, Bloomberg Philanthropies menuturkan, untuk mengembangkan surya atap rumahan jadi komponen kunci memajukan transisi Indonesia menuju energi bersih, terjangkau, dan andal.
“Dengan memupuk kemitraan internasional dalam memobilisasi modal dan meningkatkan kapasitas produksi tenaga surya dalam negeri.”