Percepat Transisi, Energi Surya Jadi Pilihan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif (tengah) bersama para pemangku kepentingan industri panel surya tengah berfoto bersama dalam acara Indonesia Solar Summit 2023 hari kedua, di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu sumber energi terbarukan, energi surya dinilai potensial dimanfaatkan untuk mempercepat proses transisi energi di Tanah Air. Percepatan itu perlu mengingat upaya mengatasi krisis iklim kian mendesak. Namun, hal ini membutuhkan dukungan berupa teknologi yang memadai dan permintaan pasar yang besar.
Hal ini mengemuka dalam acara Indonesia Solar Summit 2023 hari kedua, di Jakarta, Rabu (26/7/2023). Hadir sebagai pembicara, antara lain, Menteri Energi dam Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, para pelaku usaha, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Arifin mengatakan, krisis iklim yang melanda membuat sejumlah negara menetapkan target baru bauran energi terbarukan. Indonesia berharap dapat meningkatkan pasokan energi dari sumber energi terbarukan hingga 300 gigawatt (GW) pada tahun 2030. Sebagai usulan percepatan transisi energi dan mencapai target pengurangan emisi, wacana tersebut muncul dalam pertemuan antarmenteri energi negara-negara G20 di Goa, India, pada 22 Juli 2023.
”Paling cepat seperti yang telah dilakukan oleh banyak negara dan juga kita bisa manfaatkannya adalah dengan energi angin dan energi surya. Indonesia punya potensi besar dalam mengembangkan energi surya. Apalagi, Indonesia adalah negara tropis yang memiliki banyak lahan dan berada di jalur khatulistiwa banyak lahan,” kata Arifin dalam sambutannya.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2023, pemerintah telah menargetkan bauran energi baru dan energi terbarukan di Indonesia dapat mencapai 23 persen pada tahun 2025. Namun, target tersebut baru terealisasi sekitar 12,3 persen pada tahun 2022 yang artinya lebih dari separuh target harus dikejar dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.
Sementara dari total 20,9 GW tenaga listrik yang berasal dari energi terbarukan pada tahun 2030, sejumlah 4,3 GW tenaga listrik berasal dari energi surya. Namun, realisasi total panel surya yang telah terpasang secara nasional baru mencapai 300 megawatt (MW) atau baru 6,9 persen dari target pada 2030.
Menurut Arifin, ada dua hal yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan energi surya, yakni ketersediaan teknologi dan pembiayaan oleh investor. Dalam mengembangkan teknologi, pemerintah tengah berupaya untuk menarik investor agar membangun industri panel surya di dalam negeri.
Beberapa perusahaan sudah mulai membangun industri panel surya, terutama dari China. Nantinya, ini akan mendukung local content, mempercepat bauran energi, dan mengurangi emisi. Kita harus segera berbenah karena akan ada mekanisme bursa karbon dan pajak karbon yang tentu berdampak pada hasil-hasil produksi industri.
”Adanya pasar atau permintaan di dalam negeri akan menjadi daya tarik bagi investor. Jika kita bisa menciptakan pasar dengan akses untuk bisa bangun industri sekian gigawatt, pasti industri akan masuk. Kita punya banyak mineral mentah (raw material) yang selama ini justru diekspor. Nah, ini kita mau evaluasi untuk larangan ekspor, terkecuali mereka bangun di dalam negeri," lanjut Arifin.
Bahan baku mineral yang dimaksud adalah pasir kuarsa, pasir silika, besi, serta mineral lainnya. Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Bidang Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan, pihaknya tengah intens berkomunikasi dan menyambangi Xinyi Group, perusahaan industri kaca dan panel surya asal China (Kompas.id, 23/7/2023)
Perusahaan dengan pangsa pasar global mencapai 20 persen itu akan membangun pabrik guna hilirisasi pasir kuarsa atau pasir silika di kawasan Rempang Eco-City, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Arifin menyebut, China merupakan negara yang memproduksi panel surya terbesar di dunia dengan total 90 persen dari kapasitas di dunia.
”Beberapa perusahaan sudah mulai membangun industri panel surya, terutama dari China. Nantinya, ini akan mendukung konten lokal, mempercepat bauran energi, dan mengurangi emisi. Kita harus segera berbenah karena akan ada mekanisme bursa karbon dan pajak karbon yang tentu berdampak pada hasil-hasil produksi industri,” tutur Arifin.
Selain membangun industri, investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan panel surya dinilai cukup besar. Hal ini terkait dengan fasilitas pendukung berupa kapasitas penyimpanan tenaga listrik yang dihasilkan. Sebab, listrik yang dihasilkan oleh panel surya hanya bisa dimanfaatkan sekitar lima jam.
Paling rasional
Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) merupakan pilihan yang paling rasional bagi Indonesia sebagai upaya dekarbonisasi. Fabby menjelaskan, hal ini tidak lepas dari besarnya potensi yang dimiliki Indonesia dan sifat teknologi PLTS yang modular.
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki potensi energi surya mencapai 3.300 GW. Melalui kajian antara Kementerian ESDM dan Agen Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) tahun 2022, PLTS diproyeksikan mampu menghasilkan 65 GW tenaga listrik pada tahun 2030 dan sebesar 340 GW pada tahun 2060.
”Dengan potensi yang ada dan sifatnya yang mudah serta cepat dipasang, pengembangan PLTS dapat mengejar target bauran energi dan dekarbonisasi. Apalagi, harganya pun semakin murah dan terjangkau, yakni menurun 80 persen hingga 90 persen. Dalam 10 tahun terakhir, tidak ada teknologi lainnnya yang seperti itu,” kata Fabby.
Di sisi lain, PLTS turut menjadi fenomena global sekaligus pilihan utama bagi banyak negara yang tengah mengakselerasi transisi energi. Dalam lima tahun terakhir, IEA memperkirakan, kontribusi PLTS mencapai dua per tiga dari total energi terbarukan yang dihasilkan di dunia, yakni sebesar 440 GW pada tahun 2023 dan 550 GW pada tahun 2024.
Menurut Fabby, hal ini menunjukkan adanya potensi pasar sekaligus pengembangan teknologi yang masif. Untuk mencapai target emisi nol bersih, setidaknya dibutuhkan peningkatan kapasitas PLTS sebesar 4 GW per tahun, bahkan 10-20 GW per tahun setelah melewati tahun 2030.
Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, pembangunan PLTS yang dapat mencapai kapasitas hingga gigawatt per tahun bukanlah hal yang mustahil. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan agar wacana tersebut dapat terwujud.
Baca juga: Investasi Hilirisasi Harus Mampu Sejahterakan Rakyat
”Dibutuhkan dukungan kebijakan oleh pemerintah, penetapan target, serta regulasi yang transparan dan berkelanjutan. No regret policy itu adalah satu faktor penting,” ujarnya.
Di sisi lain, pengembangan ekosistem yang terintegrasi nantinya akan mendorong pembangunan PLTS berkapasitas hingga gigawatt. Ekosistem tersebut membutuhkan partisipasi aktif publik, penguatan infrastruktur ketenagalistrikan, serta kesediaan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) untuk terlibat di dalamnya sebagai mitra yang setara.