Upaya Berkelanjutan untuk Percepatan Energi Surya
Jakarta, Petrominer – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menyampaikan bahwa pengembangan energi surya menjadi strategi penting untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen dalam dua tahun ke depan. Meski begitu, dia menekankan pentingnya memiliki akses ke teknologi dan pendanaan untuk berhasil memanfaatkan energi surya dan memenuhi target tersebut.
Bauran energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025. Namun saat ini baru mencapai 12,5 persen. Padahal, waktunya tinggal dua tahun lagi untuk mengejar target tersebut. Untuk itu, Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat penyebaran pemanfaatan tenaga surya di tanah air.
“Terdapat dua isu penting yang menjadi dukungan bagi percepatan pemanfaatan energi surya, yaitu ketersediaan teknologi yang harus didukung industri serta ketersediaan pendanaan internasional dan dalam negeri yang perlu dimobilisasi,” ungkap Arifin dalam acara Indonesia Solar Summit 2023, Rabu (26/7).
Lebih lanjut, dia menyatakan pemanfaatan energi surya secara signifikan bakal mendorong Indonesia mencapai jalur net zero emission (NZE), dengan penggunaan energi surya diproyeksikan sebesar 61 persen dari total sumber listrik pada tahun 2060. Bahkan, studi yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan energi surya akan menjadi tulang punggung sistem energi NZE tahun 2050.
Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, kemajuan adopsi energi surya di Indonesia masih lambat. Realisasi kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2022 sebesar 271,6 MW. Ini masih jauh dibawah rencana sebesar 893,3 MW.
Menurut Arifin, ada beberapa faktor yang menghambat pengadopsian energi matahari secara luas, di antaranya masalah kepemilikan tanah, kurangnya pengalaman lokal dan tarif yang tidak menarik. Padahal, potensi teknis energi surya bisa mencapai 3.295 GWp. Untuk itu, percepatan penggunaan energi surya menjadi penting untuk mencapai target energi terbarukan dan NZE.
“Dalam jangka pendek, energi surya dibutuhkan sekitar 18 GW untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, dengan nilai investasi sebesar US$ 14,1 miliar. Investasi ini akan mudah mengalir ke Indonesia jika permintaan di dalam negeri cukup signifikan,” paparnya.
Dengan dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dicapai pada KTT G20 di Bali tahun lalu, saat ini sedang disusun rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, yang mencakup pensiun dini pembangkit listrik batubara (PLTU). Kemitraan senilai US$ 20 miliar ini bertujuan mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan Indonesia tahun 2030.
Energi surya menjadi bagian penting dari perencanaan tersebut, karena keuntungan tekno-ekonomi dan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Versi pertama dari rencana investasi ini akan diluncurkan Agustus 2023.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, memaparkan bahwa selama dua tahun terakhir, pasar baru telah muncul. Pemanfaatan energi surya tidak hanya untuk menjual listrik tetapi juga untuk menghasilkan produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia.
Berdasarkan data IESR, saat ini terdapat 10 proyek hidrogen hijau dan amonia yang telah dirintis sejak tahun lalu, dengan tujuan memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber listrik utama. Proyek-proyek tersebut saat ini sedang dalam tahap studi dan diharapkan dapat terealisasi dalam 2-3 tahun ke depan.
Fabby menyebutkan, berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, termasuk negara berkembang, menunjukkan bahwa membangun PLTS skala Gigawatt dalam waktu satu tahun merupakan prestasi yang dapat dicapai.
Dia menyoroti tiga faktor pendukung penting untuk mendorong pengembangan energi surya. Pertama, dibutuhkan kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat dan aktif dari pemerintah, serta penetapan kebijakan dan regulasi yang transparan dan berkelanjutan.
Kedua, perlunya pengembangan ekosistem terpadu, yang meliputi penentuan standar kualitas dan jaminan modul surya, memastikan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan terlatih. Dan terakhir, sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur panel surya yang terintegrasi dan kompetitif.